Abstrak
Pendidikan moral memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan akhlak dan pendidikan budi pekerti. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik.
Pada hakikatnya pendidikan moral dalam konteks pendidikan
di Indonesia adalah pendidikan nilai dan pendidikan budi pekerti, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda yang berbudi pekerti
baik. Tujuan akhirnya adalah membangun dan menjaga moralitas peserta didik agar
menjadi pribadi yang baik.
Mengantisipasi fenomena-fenomena yang terjadi dalam
masyarakat, perlu kiranya diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan dasar dan
menengah maupun perguruan tinggi, dan tak kalah pentingnya adalah sekolah
Inklusi agar mengoptimalkan sistem pembelajaran yang aktual, tidak hanya
terfokus pada substansi materi ajar, tetapi lebih diupayakan lagi
menginternalisasikan nilai-nilai materi ajarnya, khususnya pada pelajaran moral
dan Aqidah Akhlak. Dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengomunikasikan
materi ajar dengan sebaik mungkin. Interaksi yang dibangun pun harus
mengindikasikan pada proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan komunikatif. Sehinnga
nilai-nilai yang termaktub di dalamnya mampu tercerap dengan baik oleh peserta
didik dan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sepanjang hayat.
Dalam proses pembelajaran di sekolah Inklusi guru dan
anak didik juga merupakan mitra. Di sekolah guru adalah orang tua kedua bagi
anak didik. Dalam interaksinya, kehadiaran guru bersama–sama anak didik di
sekolah, dalam jiwanya semestinya sudah tertanam niat untuk mendidik
anak-anaknya agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan, memiliki sikap, watak
dan kepribadian yang baik, cakap dan terampil, bersusila dan berakhlak mulia.
Kegiatan pembelajaran di sekolah tidak lain adalah menanamkan sejumlah norma ke
dalam jiwa anak didik. Oleh karena itu tulisan ini mengemukakan betapa
pentingnya pendidikan moral dalam pembentukan moralitas peserta didik di
sekolah Inklusi.
Kata kunci: MAKNA PENDIDIKAN MORAL DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK BUDI PEKERTI.
A.Pendahuluan
Kemerosotan moral sudah sangat menghawatirkan akhir-akhir
ini. Nilai- nilai keadilan, kejujuran, kebenaran, tolong-menolong, dan kasih
sayang seolah sudah menjadi barang mahal. Sebaliknya, yang mucul adalah
tindakan penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal, saling
merugikan, adu domba, fitnah, mengambil hak-hak orang lain, dan perbuatan-perbuatan
maksiat lainnya.
Fenomena di atas juga mewarnai dunia pendidikan kita.
Sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan menunjukkan sikap yang tidak terpuji.
Banyak pelajar dan mahasiswa yang terlibat tawuran, tindak kriminal, pencurian,
penodongan, penyimpangan seksual, terlibat narkoba, dan tindak kriminal
lainnya. Bahkan di kalangan pelajar pun, peristiwa tawuran kerap terjadi. Aksi
demonstrasi yang memprotes kebijakan tidak cuma terjadi di kampus-kampus,
tetapi juga terjadi di lingkungan pelajar tingkat atas bahkan pelajar tingkat
sekolah dasar yang kadangkala diakhiri dengan tindakan kekerasan. Perbuatan
tidak terpuji tersebut telah meresahkan masyarakat.
Meskipun tingkah laku tidak terpuji tersebut hanya
dilakukan oleh sebagian pelajar dan mahasiswa, tetapi tak pelak hal itu telah
mencoreng kredibilitas dunia pendidikan saat ini. Potret buram pendidikan itu
akhirnya makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan.
Jika keadaan demikian dibiarkan berlarut-larut tanpa mencari solusinya maka
sulit mencari alternatif yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat
pada umumnya dan moralitas pelajar pada khususnya.
Demikian juga halnya sekolah Inklusi yang terdiri dari
guru-guru, siswa/i, karyawan dan komponen manusia lainnya yang membentuk
masyarakat kecil yang juga membutuhkan dan tak terlepas dari yang namanya
aturan-aturan yang membentuk masyarakat itu sendiri, sehingga mereka bisa
berinteraksi dengan baik, maka disinilah dibutuhkan aturan-aturan berupa norma
hukum, adat, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Bila dilihat ke dalam proses berlansung pendidikan di
sekolah Inklusi, pada umumnya siswa siswi yang mendapatkan pendidikan di
sekolah ini mempunyai umur yang berkisar antara 6-12 tahun, di mana anak-anak
pada usia ini mulai memiliki rasa ingin melakukan sesuatu dengan baik. Mereka
berusaha untuk melakukan sesuatu yang terbaik. Pada usia ini anak mulai bisa
merasakan keahlian yang terus berkembang, baik secara fisik maupun psikis.
Dalam perkembangan anak-anak ini juga membutuhkan rasa kepercayaan diri.
Celsius (dalam Noor Syam, 1983:127) menyatakan bahwa “dimana ada masyarakat
disana ada hukum”. Hukum ialah norma-norma, atau nilai-nilai untuk mengatur
antar hubungan sosial manusia.
Orang-orang yang berada disekililingnya seperti orang
tua, teman, guru dan yang lainnya diharapkan mampu memberikan dorongan sehingga
ia mampu tumbuh dan berkembang menjadi anak yang percaya diri. Dorongan untuk
menjadi anak yang memiliki rasa percaya diri amat dibutuhkan oleh anak yang kurang
berhasil pembelajarannya. Anak yang seperti ini butuh dorongan khusus. Dengan
memiliki kepercayaan dirinya ia bisa mengeksplorasi hal-hal yang lain yang ada
pada dirinya. Misalnya bisa berprestasi di bidang olah raga, walaupun nilainya
dalam kelas biasa-biasa saja
Moralitas peserta didik di sekolah Inklusi juga merupakan
persoalan yang aktual dan penting untuk dibicarakan, hal itu disebabkan,
pertama, adanya kecendrungan menurunnya moralitas peserta didik terutama di
kota kota besar, kedua, peserta didik merupakan generasi muda yang akan
memegang estafet kepemimpinan bangsa. Ketiga, peserta didik juga merupakan aset
utama bagi kemajuan bangsa dan negara.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pengembangan pembelajaran yang
tersedia melalui jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003). Sedangkan Prayitno (2009;68) mengemukakan bahwa peserta
didik adalah manusia yang sepenuhnya memiliki Harkat dan Martabat Manusia dengan
segenap kandungannya. Peserta didik dengan HMM-nya ini berhak hidup sesuai
dengan HMM-nya yang perlu dikembangkan melalui pendidikan. Dengan kata lain,
pendidikanlah yang akan mengembangkan HMM peserta didik sehingga peserta didik
dapat menjadi apa yang disebut sebagai”manusia seutuhnya”.
Untuk itu dalam proses pengembangan pembelajaran yang
dijalani peserta didik diarahkan pada pembentukan manusia dewasa, memiliki
tanggung jawab menjalankan kewajiban- kewajibannya. Oleh karena itu, idealnya
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritial keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003).
Dalam tulisan ini akan dideskripsikan bagaimana
pentingnya pendidikan nilai itu untuk meningkatkan moralitas peserta didik di
sekolah inklusi, dengan menjadikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai
operan condition, mereka yang tampak dalam kondisi fisik, gerak fisik maupun
memiliki perilaku yang berbeda, sehingga bisa menimbulkan perhatian bagi teman
sebayanya.
B. Pentingnya Pendidikan Moral
Pendidikan moral perlu diberikan kepada peserta didik
dalam proses pembelajarannya di sekolah, karena anak-anak itu sudah banyak
diberikan ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat kognitif seperti halnya
pelajaran-pelajaran yang selama ini diajarkan di sekolah sebagian besar
cenderung mengembangkan aspek konitif, sementara aspek lainnya (affektif dan
psikomotor) kurang mendapatkan perhatian yang proporsional. Menurut Pestalozzi
(Noddings, 1998) “objek pelajaran biasanya hal-hal yang tidak menyinggung
masalah moral. Pestalozzi perhatiannya lebih banyak pada pendidikan moral dan
pendidikan seharusnya juga memberikan pelajaran tentang moral seperti pelajaran
yang bersifat kognitif. Di samping itu tidak semua orang tua mengajari anaknya
tentang “moral” secara komprehensive sesuai dengan tuntutan moral dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Bagi peserta didik masa sekolah adalah masa untuk belajar
menjadi orang dewasa yang bermoral, bukan untuk menjadi remaja yang sukses
(Elias, Maurice J.et all, 2003, h.33), berkaitan dengan pendapat tersebut
peserta didik yang dalam proses menuju kedewasaannya (pendidikan) disiapkan
untuk mampu berperilaku baik, memiliki sopan santun, sehingga memberikan ciri
kekhasan sebagai manusia yang bernilai, mampu menunjukkan jati dirinya,
bertanggung jawab dengan apa yang menjadi pilihan hatinya. Dengan kata lain,
pendidikan tidaklah semata sebagai proses pencerdasan peserta didik, akan
tetapi pendidikan juga bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang bermoral.
Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket
atau adat sopan santun (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka,
cet.Ke III: 2288).
Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang
sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga
dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan dari kekuasaan
eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam,
yang disertai tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing (Elizabeth
B.Hurlock, 1978: 75).
Bertingkah laku baik, bagi peserta didik, seharusnya
terwujud dalam seluruh pola kehidupan yang berimplikasi pada keluarga, guru,
dan teman. Ciri tersebut harus merupakan trade mark yang menjadi jati dirinya
untuk dijadikan bekal menuju kedewasaan peserta didik.
Secara sosiologis, peserta didik di sekolah Inklusi
merupakan bagian dari lingkungan dimana mereka hidup, berbuat dan berkarya
dengan apa yang dimilikinya dan apa yang didapatkannya termasuk nilai baik
buruk yang didapatkan secara turun-temurun. Kondisi-kondisi yang masih
konsisten dan mampu memberikan kekuatan bagi mereka dan merupakan warisan dari
nenek moyang yang tidak pernah luntur oleh perkembangan kehidupan bangsa yang
menggeser nilai-nilai kehidupan bangsa ini ialah prinsip rukun1 dan prinsip
hormat. Warisan tersebut merupakan warisan budaya yang luhur, sebagaimana
tertuang dalam peribahasa “Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah”. Yang
artinya pertikaian membuat perceraian, rukun membangun kekuatan (Purwadi, Djoko
Dwiyanto, 2006: 257).
Sikap saling menghargai, saling menghormati, saling
mengasihi, saling berempati, saling tolong menolong dan saling bekerja sama,
seharusnya dipertahankan sebagai filosofi bangsa supaya manusia menjadi manusia
yang sehat jasmani, sehat rokhani, sehat sosial maupun sehat spiritualnya,
sebagaimana kriteria sehat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan,
mengisyaratkan bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan Televisi, kupasan
media cetak, berita di dalam internet marak dengan berita-berita tentang
sikap-sikap negatif, seperti tidak menghargai, dan menghormati kepada para
guru-guru, bahkan sampai terjadi perkelahian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan
dan juga pembunuhan yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di berbagai
kota besar di negara ini. Hal ini merupakan indikasi merosotnya moralitas yang
mustinya dijunjung tinggi demi terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang
tercipta sekarang ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin
berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam
yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xiii).
Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik pada
moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi yang
benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan,
pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam
suasana tenang dan sepakat. Situasi dan kondisi tersebut diatas dianggap
sebagai asumsi bahwa jiwa manusia dalam mengambil keputusan sangat dipengaruhi
oleh kondisi jiwa dan lingkungan dimana mereka hidup, mereka bersosialisasi,
mereka meniru. Menurut Jensen & Kingston (1986), sebagaimana dikutip oleh
John W. Santrock, peniruan merupakan suatu bagian yang penting dari proses
membujuk peserta didik/anak anak untuk berperilaku dengan baik kepada orang
lain (John W. Santrock, 2002: 49)
Ary Ginanjar menyatakan bahwa proses pendidikan moralitas
itu harus dilakukan secara kronologis. Ary mengungkapkan bahwa dengan menabur
gagasan, akan memetik perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik
kebiasaan, dengan menabur kebiasaan akan memetik karakter, dan dengan menabur
karakter, akan memetik nasib (Ary Ginanjar, 2003: viii).
Secara psikologis, pendidikan nilai dan moral sangatlah
tepat diberikan pada anak berusia 6 s-d 12 tahun. Menurut Kohlberg, anak pada
usia 6 s-d 12 dalam perkembangan moralnya berada pada tingkat tiga, dimana
mereka berfokus pada orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (Sikap
anak baik), dan tingkat empat, mereka juga berada pada orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosial (Moralitas hukum dan aturan),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Moral).
Pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru dalam proses
pembelajaran diharapkan sebagai sesuatu gagasan yang selanjutnya perlu
dibarengi dengan perbuatan nyata dengan melihat keberbedaan, memperlakukan
sentuhan kasih sayang dan kesabaran, karena tanggung jawab yang dihadapinya
untuk segera bertindak begitu saja, sebagaimana Prinsip Pendidikan, Seperti
yang dinyatakan oleh Prayitno (2009:194) bahwa “kasih sayang merupakan pancaran
cinta pertama yang ditampilkan oleh pendidik kepada peserta didik dengan
limpahan kasih saying dalam pengembangan dirinya secara menyeluruh, sebab
dengan kasih saying potensi anak berkembang, harapan terbayang dan semangat
terpacu untuk berjuang”. Karena itulah pendidikan hendaknya tidak hanya
diarahkan pada kecakapan yang bersifat intelektual semata, tetapi harus
diarahkan pada penemuan tujuan pendidikan, sebagaimana dirumuskan oleh UNESCO
yaitu Learning how to know, Learning how to learn, Learning how to do, Learning
how to be,Learning how to live together. Dalam kurikulum yang telah dibakukan
disebutkan pentingnya menyeimbangkan tiga ranah yaitu ranah proses berpikir,
ranah nilai dan ranah keterampilan.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen
Management Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, merekomendasikan ada 9
jenis anak berkebutuhan khusus atau sering disingkat ABK yang perlu ditangani.
Pendidikan Inklusif adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang
memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan
(Denis, Enrica, 2006, hal. 44). Pendidikan inklusif pada umumnya sudah
diterapkan di sekolah-sekolah dasar di kota Padang. Anak Berkebutuhan Khusus
pada umumnya sudah inheren pada sekolah reguler.
C. Cakupan Moralitas Peserta Didik
1. Moralitas Peserta Didik
Perkembangan Moral (moral development) berkaitan dengan
aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain (John W.Santrock, 2002: 287), yang diungkapkan
dalam bentuk 1) Berpikir, 2) Bertindak dan 3) Perasaan (Ibid). Peneliti
Perkembangan Moral, Pieget memicu tentang adanya pemikiran isu-isu moral, dalam
observasi dan wawancara yang ekstensip terhadap anak-anak berusia 4–12 tahun.
Piaget mengamati anak-anak tersebut bermain kelereng sambil berusaha
mempelajari bagaimana anak-anak tersebut menggunakan dan memikirkan
aturan-aturan permainan. Piaget juga bertanya kepada anak-anak tentang
aturan-aturan etis, seperti mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan (Ibid).
Kesimpulan yang diperoleh Piaget menyebutkan bahwa ada
dua cara yang jelas-jelas berbeda dalam berpikir tentang moralitas, tergantung
pada kedewasaan perkembangan mereka, kedua cara tersebut adalah : 1)
Heteronomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang terjadi pada
anak-anak berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai
sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah. 2) Autonomous morality yaitu tahap perkembangan
moral yang terjadi pada anak-anak yang lebih tua (kira–kira usia 10 dan lebih),
pada fase ini anak-anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum
diciptakan oleh manusia dan di dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus
mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Dan anak-anak
usia 7-10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap yang
menunjukkan beberapa ciri dari keduanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemikir
heteronomous dalam menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan
mempertimbangkan akibat-akibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari
pelaku. Sebagaimana dicontohkan bahwa memecahkan dua belas gelas secara tidak
sengaja lebih buruk daripada memecahkan satu gelas secara sengaja ketika mencoba
mencuri sepotong kue.
Bagi pemikir otonomous, yang benar adalah sebaliknya,
maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting. Pemikir heteronomous juga yakin
bahwa aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh smua otoritas yang
berkuasa. Mereka menolak ketika diajukan aturan-aturan baru harus
diperkenalkan. Mereka bersikeras bahwa aturan-aturan harus selalu sama dan
tidak boleh diubah. Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga
menjadi lebih canggih, dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial
khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerja sama.
Pieget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman
sebaya (Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota memiliki kekuasaan
dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan dikoordinasikan, dan
ketidak setujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati) yang saling memberi
dan menerima (Ibid.: 288) Sekolah dan relasi dengan para guru merupakan
aspek-aspek kehidupan anak yang semakin tersetruktur. Pemahaman diri anak
berkembang, dan perubahan-perubahan dalam gender dan perkembangan moral
menandai perkembangan selama tahun-tahun sekolah dasar setingkat anak usia 7-12
tahun (John W. Santrock, 2002:342).
Islam mulai menerapkan pemberlakuan syariah bagi
anak-anak usia baligh (7-12), pada usia tersebut anak-anak telah diwajiban
untuk melakukan syariah seperti shalat, merupakan ibadah pertama yang dimintai
pertanggungan jawab di hadapan Tuhannya. Dengan demikian anak pada usia
tersebut telah dianggap mampu bertanggung jawab akan kewajibannya. Sebagaimana
penelitian akan perkembangan moral yang dilakukan oleh Kohlberg, yang
menyatakan bahwa perkembangan moral manusia ada dalam tahapan-tahapan yang
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya.
Menurut penulis pada dasarnya manusia termasuk peserta
didik telah memiliki potensi moral (baik dan buruk) yang telah tertanam didalam
batinnya (diri), baik buruk akan tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh
stimulus-stimulus dan tauladan-tauladan yang melingkupinya. Permasalahannya
bagaimana mengkondisikan dan mengarahkan peserta didik pada kecenderungan akal
aktif (potensi batiniah baik), atau peserta didik dengan moralitas baik.
Memperhatikan pembelajaran yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah dasar dan menengah pada umumnya sudah menerapkan pendidikan
inklusi sangat relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Piaget tentang
perkembangan pemikiran atau penalaran moral pada anak-anak usia 4 s/ 7 tahun,
usia 7 s/d 10 dan pada usia diatas 10 tahun, mereka memiliki pemikiran tentang
moral dengan ciri-ciri, bagi anak anak berusia 4-10 tahun, selalu
mempertimbanggkan akibat-akibat dari perilaku, aturan yang disepakatinya
bersifat kaku, tidak boleh diubah, mereka juga menolak aturan-aturan yang baru
diperkenalkan, mereka hanya tunduk pada aturan-aturan sosial yang telah dibuat,
yakin akan adanya keadilan yang immanen (immanent justice), dan biasanya mereka
merasa khawatir setelah melakukan pelanggaran. Aturan atau norma-norma yang
diberlakukan di sekolah akan selalu dipatuhi oleh peserta didik tersebut. Bagi
peserta didik atau anak- anak yang berusia diatas usia 10 tahun, mereka
mempertimbangkan maksud-maksud dari pelaku, mereka juga
menganggap bahwa aturan-aturan bersifat fleksibel, bisa dibuat kesepakatan dan
bisa berubah, mereka lebih fleksibel, mau menerima perubahan, tidak bersifat
kaku, mereka tunduk pada perubahan aturan dengan kesepakatan, mereka menganggap
bahwa hukuman tidak serta merta diberlakukan begitu saja dan hukuman hanya
terjadi pada seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa hukuman
juga tidak terelakan.
2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas Peserta Didik
Pendidikan formal yang dilaksanakan dalam dunia
persekolahan, hampir memakan waktu kurang lebih 16 tahun (sekolah dasar enam
tahun, sekolah menengah pertama tiga tahun, sekolah menengah atas tiga tahun
dan perguruan tinggi kurang lebih empat tahun) waktu yang cukup untuk membentuk
moralitas peserta didik Adat kebiasaan yang terbentuk merupakan suatu perbuatan
yang dilakukan dengan berulang-ulang, perbuatan tersebut akan menjadi
kebiasaan, karena dua faktor, pertama adanya kesukaan hati kepada suatu
pekerjaan, dan kedua menerima kesukaan itu dengan melahirkan suatu perbuatan
(Ahmad Amin,1975: 21). Dan sifat urat syaraf itu menerima suatu perubahan,
jisim atau benda termasuk manusia disebut menerima perubahan, bila dapat
dirubah menurut bentuk-bentuk baru, dan bila dapat dirubah, maka akan tetap
dalam perubahan itu, kertas yang dilipat terasa pertama kali sedikit menerima penolakan,
maka apabila terus diupayakan dan dipaksakan maka lambat laun akan dapat
berubah dalam bentukan itu (Ibid: 22).
Dalam bentukan yang dikehendaki sebagaimana peserta didik
yang dikehendaki dalam pembentukan moralitas yang dijunjung tinggi maka akan
memiliki moralitas yang baik dan kebiasaaan moralitas yang baik yang telah
terbentuk akan mepunyai dua sifat, pertama memberikan kemudahan pada perbuatan
itu karena telah menjadi kebiasaan dan kedua menghemat waktu dan perhatian,
karena manusia itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di
permukaan bumi dan nilainya akan bergantung kepada kebiasaannya (ibid: 32).
Butler mengemukakan bahwa sejumlah peserta didik untuk
setiap angkatan termasuk pada usia 6-12 tahun haruslah dididik untuk mengetahui
dan mengagumi kitab suci. Sedang Dernihkevich menghendaki agar kurikulum
berisikan moralitas yang tinggi (Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 109). Dan tugas
utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan akal
dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru/pendidik adalah
memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada peserta didik. (Ibid
: 115).
Peserta didik mempunyai bermacam-macam kebutuhan,
pemenuhan kebutuhan ini merupakan syarat yang penting bagi perkembangan pribadi
yang sehat dan utuh. Kebutuhan tersebut antara lain Kebutuhan rasa kasih
sayang, kebutuhan rasa aman, rasa harga diri, kebebasan, sukses dan ingin tahu.
(Khoiron Rosyadi, 2004: 195). Kebutuhan dasar peserta didik tersebut merupakan
haknya yang musti diberikan oleh keluarga, pendidik pada saat pembelajaran dan
pembentukan masa perkembangannya, sehingga masa-masa yang sangat menentukan
tersebut benar-benar memperoleh porsi yang akan mengantarkan dan sekaligus
sebagai basic landasan dasar pada masa-masa pengisian hidup berikutnya.
Perkembangan anak pada khususnya sangat tergantung pada
lingkungan dimana mereka hidup, dan peserta didik yang hidup bersama keluarga,
bersama-sama dengan teman sebayanya dan lingkungan sekolah hampir kurang lebih
6 (enam) jam sehari, tentu sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap
penanaman moral mereka terutama cara-cara temannya berpikir, temannya bertindak
dalam menyikapi atau merespon suatu sikap atau tindakan, temannya berkata,
kondisi temannya, cara temannya berpakaian, temannya bersikap, karena pada
dasarnya manusia hidup itu banyak meniru (Akhmad Abdullah, 1975). Seorang
pendidik atau guru mempunyai peranan yang sangat strategis dan besar dalam
memberikan, menkondisikan, membuat situasi pembelajaran menjadi berarti, John
Dewey sebagaimana dikutip Wasty Soemanto, ingin mengubah hambatan dalam
demokrasi pendidikan dengan jalan :
1.Memberi kesempatan pada murid/peserta didik untuk
belajar perorangan
2.Memberi kesempatan murid untuk belajar melalui
pengalaman
3.Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan
memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan belajar yang
merupakan kebutuhan pokok peserta didik
4.Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan
belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik menyadarkan murid bahwa
hidup itu dinamis. Oleh karena itu, murid harus dihadapkan dengan dunia yang
selalu berubah dengan kemerdekaan beraktifitas, dengan orientasi kehidupan masa
kini (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 93)
5.Dan apa yang berguna bagi manusia sebesar-besarnya
apabila manusia itu mendapat ahli pendidik yang baik dan bahaya akan
menimpanya, apabila manusia mendapat pendidik yang buruk, sebagaimana
difirmankan dalam al-Quran, bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah, keluarga
dan lingkunganlah yang akan membentuknya menjadi manusia yang ingkar dan tidak
berguna.
Koordinasi antar guru agar semua bekerja sama membina
moralitas siswa dalam setiap mata pelajaran masing-masing. Misalnya, guru mata
pelajaran sejarah menyisipkan pesan moral dengan memberi tugas, "Carilah
apa hikmah yang dapat diambil dalam kehidupan kita sehari-hari tentang
peristiwa Sumpah Pemuda 1928". Guru mata pelajaran bahasa Inggris:
"Buatlah kata-kata mutiara yang dapat dipraktikkan dan merupakan nasehat
kebaikan yang ditulis dalam bentuk bahasa Inggris", dan tentunya semua
mata pelajaran, bias diformat dalam bentuk–bentuk petuah dan nasehat akan
kebaikan.
Dengan tetap mengutamakan mutu dari disiplin ilmu yang
disampaikan, hendaknya pesan-pesan moral diberikan dalam semua mata pelajaran,
tidak terlalu sering agar tidak jenuh, dan tidak terlalu jarang agar tidak
diabaikan. Maka dalam setiap even pendidikan, lingkungan sekolah khususnya
perangkat guru pentingnya membiasakan dengan membentuk kebiasaan yang baik
sebagaimana diungkapkan bahwa dengan menabur gagasan, maka akan memetik
perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan memetik
kebiasaan akan terbentuklah karakter atau sifat baik, dan sentralnya adalah
nasib (Ary Ginanjar, 2005: xliii) Robert J. Havinghurst mengemukakan, bahwa
peserta didik pada masa usia 6-12 tahun harus melaksanakan tugas perkembangan,
sebagai berikut:
1.Mempelajari kecakapan-kecakapan jasmaniah yang
dibutuhkan untuk permainan sehari-hari;
2.Membentuk sikap yang baik terhadap diri sendiri sebagai
suatu makhluk yang tumbuh;
3.Belajar bergaul dengan teman sebaya;
4.Mempelajari peranan sosial laki-laki atau perempuan;
5.Memperkembangkan kecakapan dasar dalam menulis; membaca
dan berhitung;
6.Memperkembangkan pengertian yang perlu unuk kehidupan
sehari-hari;
7.Memperkembangkan kata hati, kesusilaan dan
ukuran-ukuran nilai;
8.Memperkembangkan sikap terhadap lembaga dan kelompok
sosial (Khoiron Rosyadi, 2004: 194).
Untuk menguatkan dan meninggikan pendidikan moral,
terutama akhlaknya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :
1.Meluaskan lingkungan pikiran, artinya terus berusaha
untuk belajar dengan semangat;
2.Berkawan dengan orang-orang terpilih, bukan berarti
menolak berkawan dengan orang awam namun lebih membekali diri dengan lingkungan
yang berpikir baik dan bijak. Karena pada dasarnya manusia hidup suka
mencontoh;
3.Membaca dan menyelidiki perjuangan para pahlawan dan
yang berpikiran luar biasa; Supaya manusia memaksakan dirinya melakukan
perbuatan baik bagi umum, berbuat baik adalah kewajiban manusia, karena
kualitas antara lain terletak pada perbuatan baiknya; Apa yang telah
disampaikan di dalam kebiasaan tentang menekan jiwa melakukan perbuatan yang
tidak ada maksud kecuali menundukkan jiwa. Dan menderma dengan perbuatan
perbuatan setiap haridengan maksud membiasakan jiwa agar taat, memelihara
kekuatan penolaksehingga diterima ajakan baik dan ditolak ajakan buruk (Ahmad
Amin, 1975: 63-66).
Bahwa pendidikan moral peserta didik pentingnya didasari
dengan kekuatan nilai yang dimulai dengan ketenangan hati nurani yang suci maka
keberhasilan pendidikan moral yang dibiasakan dan dipaksakan pada awalnya akan
menampakkan hasilnya. Hasilnya adalah peserta didik yang bermoral yang mampu
mengaktualisasikan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak saja baik
namun lehih kepada perbuatan-perbutan mulia, yang dilakukan tidak karena ingin
keuntungan, ingin di puji, ingin dihormati namun perbuatan yang dilandasi
dengan syariah namun juga seringkali menggunakan akal pikirnya. Akal, syariah
dan dorongan hati yang suci akan terbentuk manusia digital, manusia baru yang
sesuai dengan tatanan transenden (manusia yang memiliki rukh).
Pendidikan Inklusif sebagai wadah dan model pelayanan
yang mampu membentuk serta mengembangkan moral peserta didik, karena peserta
didik dilatih sekaligus dihadapkan pada kehidupan yang nyata (Learn to live
together), mereka hidup tidak ada batasan antara yang pandai dan yang kurang
pandai, yang beruntung secara fisik maupun yang kurang beruntung (anak
berkebutuhan khusus), mereka yang berasal dari keturunan kaya atau miskin,
rumpun atau etnis, manusia yang termarginalkan, dan lain sebagainya. Pendidikan
inklusif adalah pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan masa
depan (education for future), dan pendidikan islami (Islamic education).
D. Strategi Pembentukan Moralitas Peserta Didik
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan
pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana
prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama memungkinkan, semua anak atau
peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam
mengembangkan strategi pembelajaran moral di sekolah Inklusi mestinya harus
lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil peran
moral, baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman
sebaya dan lingkungan masyarakarat yang lebih luas. Kesempatan untuk mengambil
peran sosial nampaknya memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan
moral. Penelitian Holstein dalam Kohlberg & Turriel, memperlihatkan bahwa
anak-anak yang maju dalam perkembangan moral, memiliki orang tua yang juga maju
dalam penalaran moral. Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan
yang mendorong terjadinya dialog, mempunyai anak yang secara moral lebih
matang.(C.Asri Budiningsih, 2004: 84) Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Kolhberg (Cremers, 1995) disamping di dalam keluarga, pengambilan peran dalam
kelompok keluarga, pengambilan peran dalam kelompok sebaya, di sekolah dan di
masyarakat yang lebih luas, akan meningkatkan perkembangan moralnya (Ibid).
Pada diri peserta didik telah tertanam potensi utama yang
terus dilatih dengan stimulus-stimulus yang positif sebagaimana menurut tokoh
muslim yang dikenal dengan hujat al-Islam, Al Ghozali menawarkan suatu konsep,
yang bukan saja bersifat lahiriah namun lebih bersifat batiniah, yaitu akhlaq
sebagaimana Sabda Rasulullah SAW, bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya. Yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti
orang (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147). Dan karena akhlaklah yang akan
membawa dia kepada jalan keselamatan (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 145).
Pembelajaran di sekolah Inklusi dapat meliputi langkah
orientasi/informasi, pemberian contoh, latihan/pembiasaan, umpan balik, dan
tindak lanjut. Langkah-langkah tersebut tidak selalu harus berurutan, melainkan
berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Dengan proses seperti itu, diharapkan apa
yang pada awalnya sebagai pengetahuan, kini menjadi sikap, dan kemudian berubah
wujud menjelma menjadi perilaku yang dilaksanakan sehari-hari.
Strategi dan metode terbaik untuk mengajarkan
nilai-nilai, moral, dan akhlak kepada peserta didik adalah dengan contoh dan
keteladanan. Prayitno (2009:281) menyatakan bahwa “kehidupan manusia itu tidak
terlepas dari peniruan, selanjutnya dalam proses konformitas melalui
pendidikan, peserta didik yang ingin/hendak memasuki ‘kelompok pendidik’ harus
banyak meniru dari keteladanan yang diberikan pendidik”. Karena keteladanan
yang diberikan guru merupakan guru yang paling baik, sebab sesuatu yang
diperbuat melalui keteladanan selalu berdampak lebih luas, lebih jelas, dan
lebih berpengaruh daripada yang dikatakan.
Disamping keteladanan sebagai guru yang utama,
pembelajaran nilai-nilai, moral, dan akhlak di sekolah perlu juga menggunakan
metode pembelajaran yang menyentuh emosi dan keterlibatan peserta didik,
seperti metode cerita, permainan, simulasi dan imajinasi. Dengan metode itu
peserta didik akan mudah menangkap konsep nilai, moral yang terkandung di
dalamnya. Sebagai ilustrasi dapat disimak contoh mengembangkan nilai kejujuran
da tenggang rasa berikut ini : 1) Kejujuran, strategi pembelajaran yang
dikembangkan dapat melalui permainan sebab akibat, perjanjian untuk berbuat
jujur, dan penghargaan atas kejujuran, dan 2) Tenggang Rasa, strategi
pembelajaran nyang dikembangkan dapat melalui menghapal pernyataan bermakna,
permainan untuk memperhatikan sesuatu (pemandangan), permainan untuk
memperhatikan kebutuhan orang lain, dan permainan sahabat rahasia.
Selanjutnya sudahkah kita memberikan pendidikan moral
disertai keteladanan kepada anak-anak, peserta didik, dan kepada semua pihak.
Untuk itu mari terapkan strategi-strategi baru yang bisa meningkatkan moralitas
siswa, meskipun itu di sekolah Inklusi, karena tugas kita sebagai manusia
adalah melatih, terutama para pendidik dan orang tua, dengan demikian, peserta
didik yang mendapat pengajaran dan pembelajaran di sekolah, pentingnya tugas
guru untuk melatih dan memberikan bantuan pada peserta didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada peserta didik.
E. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis tentang pentingnya
pendidikan moral di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral
merupakan sesuatu yang harus diberikan kepada peserta didik di sekolah Inklusi,
karena pendidikan moral dapat membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik dan hidup setara dengan
anak-anak normal lainnya..
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan
pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, dimana
prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama memungkinkan, semua anak atau
peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam
mengembangkan strategi pembelajaran moral di sekolah Inklusi mestinya harus
lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengambil peran
moral, baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman
sebaya dan lingkungan masyarakarat yang lebih luas dengan memberikan
keteladanan melalui proses peniruan, dimana semuanya harus dimulai dari
pendidik itu sendiri.
Sumber :
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ginanjar, Ary, A. (2001), Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ – Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6
Rukun Iman dan 5Rukun Islam, Penerbit Arga.
Atkitson, R.L., dkk. 1983. Introduction to Psychology.
New York: Harcourt Brace Javanovich, Ich.
Departemen Pendidikan Nasional; Direktorat Jenderal
Peninkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 2006. Konsep Dasar Pendidikan
Anak Usia Dini.
Noddings, Nel. 1998. Philosophy of Education. Colorado:
Westview Press, A. Member of Perscus Books, L.L.C.
Hurlock, Elizabeth,B. 1978. Perkembangan Anak. Ed.6.
Jakarta. Erlangga
John W. Santrock. 2008. Psikologi Pendidikan. Kencana:
Jakarta
Mohammad Noor Syam. 1983. Fase-Fase Perkembangan Anak.
Grasindo: Jakarta
Nurul Zuhrah. 2008. Pendidikan moral & budi pekerti
dalam perspektif perubahan: menggagas platform pendidikan budi pekerti secara
kontekstual dan futuristik. Jakarta: Bumiaksara.
Prayitno. 2009. Pendidikan; Dasar Teori dan Praksis.
jilid I. UNP Press: Padang
Santoso, Muhammad Abdul Fattah. 2005. Jurnal Studi Islam.
Steven Carr Reuben. 1997. Children of Character, a parent
guide, Santa Monica: Canter and Associates, Inc.
Theo Riyanto FIC. dkk. 2004. Pendidikan Pada Usia Dini.,
Grasindo: Jakarta.
UUSPN (SISDIKNAS). 2003. Undang Undang No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.
Zaim Elmubarok. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai:
Alfbeta: Bandung
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke
III
Internet: (http.www //google. Moral),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Moral), dan (http.www.google.ciri-ciri authis).
0 komentar:
Post a Comment